Selasa, 04 Juni 2013

ce soir #2


Superman bertamu lagi malam ini. Jendela-jendela kamar kosku tampak tersenyum dari beningnya. Aku masih terpaku dengan ketukkan tangan superman kemarin. Kenapa dia bertamu lagi. Aku tidak mengerti, pelajaran yang ia pesankan kemarin malam tidak aku pikirkan hingga saat ini.  Apa yang kau mau lagi superman, aku memang mengharapkan tamu yang bias kuajak berbincang, tapi kamu hanya meninggalkan pesan dan akhirnya membuatku berpikir. Aku tidak mengerti jalan pikiranmu. Superman masih tersenyum-senyum sendiri di depan pintu kamar kosku saat ini. Malam ini sama saja seperti kemarin. Awan berkujung ke bagian bumi yang lain untuk meminum secangkir es lemontea, mungkin. Bintang-bintang lagi menghadiri pernikahan keponakkan bulan di paris. Entahlah tidak ada angin yang begitu kencang, hanya sekedar membuat diriku nyaman kesendirianku.

Superman masih saja mematung di depan pintu kamar kosku. Dia kupersilakkan masuk kedalam. Aku nyalakan penggerak angin dengan nada pelan. Superman suka dengan tiupan angin. Ada yang berbeda dari penampilan superman kali ini. Dia tidak mengenakan pakean kebanggaannya yang seperti kulihat di layar bioskop. Tetap saja dia masih melambaikan tangannya seiring dia memasuki singgasanaku ini.

Pakaian seperti rakyat biasa yang ia kenakan, tapi tetap saja dia memakai sayap dan celana dalam diluar. Membuatku tertawa. Kali ini dia hanya sebentar lagi, entah apa yang dia mau padaku. Dia hanya bilang padaku, pelajari bagaimana kamu bisa mengenal angin.

Dia pergi lagi dengan begitu mudanya, mungkin karena kuacuhkan tadi. Dia membuatku menjadi kesal. Kenapa, aku harus mengenali angin. Ada apa dengan angin. Sebelum aku mau tertidur, yah akan kupikirkan pesannya yang lebih tepatnya merasakan.

Senin, 03 Juni 2013

ce soir #1



Aku terduduk lemas dikosku, diamku yang berbicara lewat batin dengan keletihan yang dirasakan. Urat leherku terasa bosan mengikuti permintaanku, selalu melihat kearah jendela dan pintu kamar kosku. Berharap ada yang datang, ada yang mengajakku mengobrol denganku mengenai bagaimana tatacara berpacaran dengan tuhan bahkan sampai menikah.  Mataku selalu menatap tajam dan lama kearah luar kaca jendelaku, terkadang mata ini menyatu dengan pikiranku sehingga membentuk berbagai macam imajinasi yang membuat aku tertawa terbahak-bahak dan terpingkal-pingkal. Entah siapa itu, yang hadir dalam benakku yang menghadirkan segala tokoh dalam khayalan yang nyata. Aku tidak pernah meminta para tamu-tamu itu, semacam orang yang mempunyai kedudukkan di negeri pancasilaku ini.

Tokoh yang lain, tokoh yang membuatku terjungkal, terjun dari kursi empukku, dan kasur kapukku yang hingga saat ini bernasib malang.

Malam ini satu bintangpun tidak dapat kuhitung, hujan semakin betah bertamu di wilayah nyamanku. Aku tidak mengerti, entah apa yang membuat mereka semakin betah. Mereka pasti banyak mengalami perjalanan panjang hingga beristirahat sejenak dan melimpahkan hartanya padaku, pada kita. Awan di mala mini hampir tidak bias aku melihatnya, mungkin mereka bertamu dan menikmati hidangan kopi sambil menikmati sebatang rokok bersih. Aku semakin resah dan menunggu tamu yang tidak kunjung datang.

Malam ini dari kejauhan hotel yang terus terang lampunya, terkadang lampu itu menjadi lampu disko, ada hal yang aneh dari pandangan seriusku. Terus mendekat dan mendekat, aku mulai mengacuhkannya. Tiba-tiba suara angin yang mendesir dingin diurat leherku. Lelaki yang terbang tadi sudah berada di luar halaman kosku. Masih samar pandanganku, tapi senyum seseorang itu sangat tampan sekali. Dia berjalan pelan namun begitu pasti. Aku kagu ikut tersenyum memerhatikannya. Dia sudah berada lebih dekat dengan kaca jendelaku, keresahanku terjawab dari ketidaktahuanku. Aku tersanjung sekali lelaki dengan tanda S di dadanya. Superman dengan senyum kedua kalinya itu semakin membuatku menjadi patung beberapa detik. Ada apa gerangan seorang pahlawan rela jauh-jauh datang ke kosku yang begitu amat kecil ini. Keresahanku menjadi galau yang bercampur tawa. Senyum kocak sang superman begitu lucu, dengan giginya yang rata sambil dipertunjukkan. Tangannya melambaikan kepadaku dengan arti say hello yang sangat ramah di balik  kaca jendelaku. Dia mulai mengetuk pintu kamarku yang sudah dari tadi mulai terbuka, tapi kenapa dia mengetuk dan kenapa tidak langsung masuk saja.

Dia mengentuk pintu sambil tersenyum yang ketiga kalinya dan berkata “bolehkah aku masuk”. Aku mulai menahan tawaku yang mulai tidak serius dengan keglisahan yang aku rasakan tadi.

Dia masuk dan duduk disampingku, superman menanyakan kepadaku perihal kegelisahanku menunggu seseorang untuk datang. Ternyata superman sudah memerhatikanku sejak tiga hari ini, dia memerhatikanku dari atap gedung depan kos hunianku. Superman mulai merangkul bahuku, dia memintaku untuk membuatkan kopi 101 yang berasal dari daerah kelahiranku.
Aku mulai membuatnya dengan hati-hati dan kuhidangkan untuknya sambil bertanya dalam hatiku “sejak kapan superman mengerti kopi daerahku”. Aku tidak mau berkomentar banyak. Superman mulai mengatakan kepadaku dengan segala kata-kata yang membuat saya merasakan kediktatorannya. Dia memanggil namaku, saat itulah dia membuka bahan pembicaraan mengenai terbang dan merawat tubuh menyatu dengan angin. Aku tidak mengerti apa yang dia katakan, bukankah kekuatannya didapat dari keturunannya keluarganya di planet lain. Apakah aku bisa terbang hanya dengan menyatu dengan angin, superman sungguh aneh.

Dia berpesan kepadaku mengenai terbang, saat itu pula aku menjadi ngantuk dan hilang rasa keresahanku. Aku mulai mengenali kamuflase laki-laki saat berteman baik dengan baik angin. Masih tahap perkenalan dan hingga akhirnya aku akan memahami satu sama lain. Superman berjanji untuk datang lagi. Dia mengucapkan selamat tinggal dengan senyum keempatnya yang terlihat seperti tertawa. 

Kamis, 04 April 2013

Kelas Gusti



Kelas yang selalu berisi kudapan demi kudapan ilmu dan nada penyampaian demi penyampaian yang begitu menjurus ke dasar pengetahuan diri, terhadap kondisi sosial yang sedang diperhatikan maupun dialami aku sendiri. Kelas ini, mengandung pertanyaan besar terhadap lurus atau tidaknya seseorang akan kedepannya. Sedangkan aku masih tetap terdiam saja tanpa arah. Mataku meliuk-liuk lelah ke berbagai pusat perhatian mengenai persoalan ini.
Kelas yang tidak merasa kesepian, walaupun hanya ada satu orangpun akan tetap berjalan. Kelasku dan teman-teman terkadang kosong dan ramai. Dalam sebuah gambaran, kelas ini menjadi ajang besar antara aku dan teman-teman untuk mencapai apa yang itu di sebut sebuah ilmu. Ilmu apa yang aku dapat dari kelas ini, tentunya banyak. Di saat kelas ini sepih. Terkadang aku berada disana ataupun tidak, pada saat ramaipun aku juga tidak selalu berada disana.
Kelas ini, bisa di buat kelas yang privat. Semauku untuk bertemu Gusti sendirian. Biasanya aku lebih di anjurkan untuk mengikuti kelas yang ramai. Dengan keramaian yang begitu  biasa menurutku. Namun kelas ini tak begitu rumit. Sebab itulah karna tidak terlalu rumit, banyak kenakalan dan ke usilan yang aku perbuat dalam kelas Gusti ini. Begitulah polaku sebagai murid. Banyak hal yang semestinya harus aku ceritakan tentang kelas Gusti ini dan aku sebagai murid mempunyai pandangan yang sangat berbeda mengenai hal ini. dari kaca mataku sebagai murid yang banyak berpikir dan bertanya di kelas Gusti ini. Semuanya tentang apa yang aku pikirkan semakin membuat aku resah. Entalah memang aku harus banyak cerita mengenai  kelas ini.
Hal yang aneh bagiku. Gusti tidak pernah mengabsen disaat aku tidak hadir, begitu juga dengan teman-temanku lainya. Bahkan dia diam saja dan tidak marah kalau aku sering tidak masuk kelasnya. Tetapi kelas yang di buat Gusti untuk aku  dan teman-teman tidak membuat peraturan apa-apa, contoh halnya seperti kelas lain yang membuat peraturan kelas. Malahan terkadang kami yang menyesal, bahkan aku yang sering menyesal. Sebenarnya ada juga orang yang tidak menyesal, karna dia tidak tahu bahwa betapa pentingnya kelas Gusti ini.
Aku heran sekali, Gusti  terlalu baik. Gusti tidak pernah memberi hukuman apapun kepada kami, walaupun kami tidak masuk kelas. Bahkan, sering aku dan teman-teman tidak masuk kelas yang di buat Gusti.

Aku hampir tidak ingat kelasnya di jam berapa saja, karna begitu asyiknya aku dengan alam mimpiku sendiri di saat tertidur pulas. Benar, aku sangat jujur. Gusti tidak pernah memukul, mencubit, menampar , menyuruh aku lari lapangan, push’up dan berbagai hukuman apapun yang membuat hati ini semakin rusuh ataupun berpandangan buruk. Gusti tidak pernah memberikan itu.
Sungguh baik sekali Gusti terhadap kami. Bahkan Gusti selalu memberi kami kenikmatan demi kenikmatan yang tak terhingga, karna kami tak selalu memasuki kelasnya. Dan apalagi kalau aku sama teman-teman memasuki kelas Gusti, akan di beri kenikmatan juga dan bahkan lebih, ataupun di beri cobaan yang membuat kami menjadi kuat dan mengerti akan diri sendiri dan mengenai Gusti. Sungguh anehkan kelas Gusti ini, tetapi disinilah menurutku pembelajarannya.
Aku sungguh heran sekali dengan Gusti, kenapa begitu simpelnya kelas yang di buat Gusti, dengan pertemuan beberapa menit saja bisa merubah hidup kami atau tidak berpengaruh sama sekali. Namun seluruhnya berpengaruh kuat terhadap kepribadian kami, karna tergantung orang yang mencerna dan menilai kelas Gusti ini. Malahan bukan Gusti yang menyesal, kami sebagai anak-anaknya malahan yang menyesal tidak masuk kelasnya. Pelajaran di kelas Gusti itu bermacam-macam maknanya dan artinya, tunduk, keikhlasan, kesehatan dan bahkan sosial. kenyamanan dan keberhasilan, maupun ketenangan hidup di dunia ini.
Sangat diherankan sekali. Kelas Gusti ini tidak ada ujian pertengahan semester atapun akhir semester. Ujian itu tidak ada, seperti hal lainnya orang-orang yang terseok-seok dengan jalan pikirannya untuk menghafal dan memahami sebuah ilmu yang besok di ujikan. Dengan system mencicil ilmu tersebut untuk masuk dalam alam pikiran ataupun dengan system kebut semalam, itu sungguh menyusahkan para murid-muridnya yang tidak begitu rajin. Kelas Gusti tidak menggunakan itu. Tidak ada ujian yang menyusahkan para murid kesayangannya yang ia selalu tuntun, dan ada demokrasi yang luarbiasa di kelas Gusti ini.
Tidak ada nilai. Gusti tidak memberikan penilaian di setiap semua mata pelajaran yang ia ampu semuanya. Nilai yang membuat orang semakin percaya diri, nilai yang membuat orang semakin terperosok, nilai yang membuat orang semakin kaya, nilai yang semakin membuat orang menjadi sombong, nilai yang membuka dan menutupkan mata. Kelas Gusti tidak ada semua itu. kelas yang benar-benar tidak ada kata sanjungan yang di berikan kepada murid-muridnya. Namun masih ada juga orang-orang yang rajin di kelas Gusti mempunyai sikap seperti itu. sedangkan aku masih berdiri di tengah-tengah terhadap persepsi yang aku bentuk tersebut dengan alih kebenaran, dan itu selalu aku curhatkan ke Gusti.
Pernah aku tidak masuk kelasnya beberapa kali dan bahkan sering, malahan tidak pernah lagi “tertawa, terkekeh menertawakan diri sendiri” Gusti tetap saja diam. Sedangkan aku, menyesalnya minta ampun. Karna aku berpikir mau di bawa kemana diri ini, kalau tidak masuk kelas Gusti. Hatiku tidak tenang, hatiku merasa gusar dan pernah juga aku acuh tak acuh saja, karna sudah terlalu sering melakukan bolos itu. Pernah ada temanku yang menyeletuk untuk TA di kelas Gusti, malahan aku tertawa sendiri dan bertanya pada wajahku yang polos “titip absen” padahal kelas Gusti tidak bisa di samakan dengan kelas lainnya dan bahkan kelas Gusti itu tidak ada absennya. Mau sampai kita berdebat pun, pukul-pukulan, dan bacok-bacokan, aku akan tetap bilang kelas Gusti ini tidak ada absennya. “Temanku yang pintar kelas gusti tidak ada absennya “ begitu ingin kukatakan di mukanya dengan perasaan jengkel. Dan aku sangat yakin, pasti Gusti menyaksikan lagak-lagak kami melalui kamera-kamera pengintai. Yang kami tak tahu dimana di letakkan dan aku sangat yakin, pasti Gusti tanpa ekspresi melihat tingkah laku kami.
Aku termenung, gusar, dan tidak tau arah saat tidak memasuki kelas Gusti. Dan ketika memasuki kelas Gusti aku merasa senang, tetapi begitu banyaknya gambaran-gambaran hidup untuk kedepannya, jadi membuat aku tidak khusyuk, nah ini dia yang membuat perbedaan di kelas Gusti. Bukan kesombongan, keintelektualan apapun itu, yang hanya di tuntut di kelas Gusti ini. Ialah ke khusyukan yang bisa di sebut focus atau ketenangan “entahlah”, agar kita bisa menyerap pelajaran yang amat melekat dalam diri kita ini sebagai manusia, teman-temanku juga begitu. Kelas Gusti ini sangat amazing.
Kelas Gusti ini sangat begitu memukau dan entah apa yang ada di pikiran teman, saudara dan manusia yang belum ku kenal, yang tidak selalu memasuki kelas Gusti. Apa mereka lupa, atau tidak ingat dengan adanya kelas Gusti, apa mereka benar-benar sengaja tidak ingat dengan kelas Gusti. Atau mereka tidak butuh, entahlah aku tidak selalu mengerti pemikiran teman dan saudaraku, bahkan aku sendiripun selalu menghujam diriku ini, kalau tidak memasuki kelas Gusti.
Apakah teman-temanku tersandung batu lalu jatuh sehingga tidak bisa mengikuti kelas ini. menurutku terlalu dangkal temanku tidak masuk kelas Gusti karna tersandung batu. Atau mungkin karna mereka lebih mengerjakan sesuatu yang lebih penting dari kelas ini, terlalu banyak istirahat sehingga melupakan kelas ini, ataupun kelelahan yang sangat letih. Mereka meninggalkan kelas gusti, mungkin karna bujukkan-bujukkan keadaan mereka, biasanya teman mereka lainya yang menghasut untuk bolos. Lebih baik mengerjakan sesuatu yang lebih menyenangkan. Sedangkan aku dengan beraninya melakukan bolos ini dengan hal sepele, yaitu menonton tv. Patut untuk di tertawakan. “haha”
Temanku yang lainnya. Seperti manusia pada umumnya, ia berkata malas untuk kelas yang dirasa hanya sebentar saja. Entah apa yang membuat mereka malas, aku sendiri tak paham. Mereka membuat kebolosan itu, apakah mungkin mereka mempunyai kelas baru yang begitu rutin dan sehingga tak sempat membagi antara kelas Gusti dan kelas rutin tersebut. akupun masih terlihat polos. Mungkin teman-temanku lebih takut dengan kelas-kelas lain selain Gusti. Sebuah nilai apa yang mereka kedepankan. Akupun terhipnotis dengan kebijakan kelas selain kelas gusti. Merasa takut terhadap kelas yang di ikuti sedangkan kelas Gusti tidak begitu di takuti. Sangat aneh bagi perasaan batinku, namun aku tetap saja terbawa arus itu.
Mungkin mereka mempunyai pekerjaan yang lebih penting, misalnya memotong rambut, menghidangkan makanan dan minuman, membenarkan mesin kendaraan, menunggu pembayar, memasak untuk suami, menulis buku dan puisi, mencari berita , dan bahkan kegiatan yang bermanfaat seperti membaca buku, mendengar lagu, menggambar. Bisa saja perbuatan yang tidak bermanfaat sekali seperti bermain judi dan lain sebagainya itu. Hal tersebut yang membuat mereka meninggalkan kelas gusti. Aku tidak mengkritisi mereka saja, akupun mengkritisi diriku sendiri sebab ini adalah sebuah realita.
Hal apa lagi   yang membuat mereka bolos. Berpacaran mungkin, aku sungguh tidak terlalu mengerti. Sepasang kekasih yang lagi berpadu kasih, lalu melupakan kelas Gusti yang seharusnya mereka hadiri berdua. Bagiku ini adalah sebuah pertanyaan besar, kenapa mereka melakukan hal pembolosan tersebut.
“sesungguhnya kelasku, hidupku, matiku hanya untuk gusti”

Ini adalah sebuah kata-kata yang terekam di hatiku dan di alam bawah sadarku, namun terserah orang mempersepsikannya dan bagiku ialah kata-kata ini sangat mewakili aku sebagai manusia, sehingga manusia itu butuh apa?!! Inilah jawabannya, memasuki kelas Gusti itu sangat penting teman, saudaraku, orang yang belum kukenal namanya, entah berada di tempat yang mana. pikirkan baik-baik hal ini.
Namun, kelas Gusti bukanlah kelas yang biasa saja, hal itu sangat penting. Yang perlu di tanam dalam pikiran dan hati, supaya tidak ada kesesatan. Semoga yang lain lebih cepat mengerti dan memahami, begitu juga aku.
Karna kelas Gusti ini tidak sekadar hanya merangkai namaku menjadi indah saja, namun bisa membuat namaku menjadi lebih bertahta. Karna kelak namaku saja yang hanya bisa di kenang. Sebab itulah kelas Gusti ini bisa melapangkan tempat tinggalku setelah hidup di dunia.
Begitu pentingnya kelas ini, karna kelas ini bisa membagikan sebuah ketenangan yang dapat di temukan dengan serius. Kelas ini menyelamatkan kita untuk kedepannya di saat tiada kelak di alam bumi. Aku masih membahas itu, sebab aku membayangkan kematian. Sebenarnya kelas Gusti bukan bermanfaat untuk setelah tiada saja, namun waktu kita berwujud di duniapun kelas Gusti sangat bermanfaat. Hal itulah yang masih aku gusarkan kepada diriku, mau jadi apa aku setelah tiada maupun masih berada di bumi yang fana. Jadi kelas Gusti sangat berpengaruh mengenai ini. maaf aku terlalu takut dengan kematian.
Kelas Gusti mengajarkan bagaimana kita tersenyum dengan cara yang iklhas, berbagi dengan cara yang lugas tanpa meminta imbalan sepeserpun atau bahkan imbalan jasa. Yang ada sebuah kesyukuran yang tiada hentinya, apabila itu kita rasakan. Ini adalah bagian kecil yang terpenting saat kita mengikuti kelas Gusti. Aku bisa menjelaskannya lagi, tetapi hal ini semakin membuat  aku semakin bersedih.
Mengapa kelas Gusti begitu penting. Karna ini, karna yang kujelaskan tadi sebelumnya. Walaupun hanya sebagian saja yang baru kujelaskan. Kelas Gusti mengajarkan kita untuk selalu jujur. Bukan seperti kejadian-kejadian yang masih panasnya di bincangkan di negeriku ini mengenai korupsi. Aku berpikir, pasti orang-orang yang korupsi  tidak memasuki kelas Gusti. Tidak serius memahami ilmu dan nilai-nilai dalam kelas Gusti, jadinya seperti itu. sebab itulah negeriku jadi kewalahan. Dari aku sendiripun terdapat hal yang sudah tertanam secara tidak disadari mengenai pesan dan ajaran dari kelas Gusti yang itu melekat dalam diriku. Mengenai hal itu adalah asas baik dan buruk soal hidup yang aku pilah-pilah sendiri.
Akhirnya aku lebih mengerti lagi, kelas Gusti mengajarkanku mengenai hidup dan mati. Terhadap hal sepele yang tidak aku perhatikan. Membuat aku terlarut-larut akan hal itu, padahal Gusti sebagai guru yang baik selalu mengawasi aku. Namun aku terhipnotis dengan keadaan itu, keadaan dunia yang remang, samar dan mulai jelas. Seandainya aku lebih peka seperti gusti, mungkin sebagian dari kepekaannya. Aku tidak mau sesempurna itu.

Kamis, 21 Maret 2013

Cinta



Celah langit menampakkan bintang yang lagi sengit terhadap bulan. Raut wajah Ayunda berpesan mengenai kebingungannya, alisnya diangkat ke atas. Menatap ke jendela. Tangan yang menopang dagunya yang elok, membuat ayunda benar-benar berpikir kosong. Tingkah laku langit dia perhatikan saja pada waktu itu. pikiran Ayunda memain-mainkan bolpoin yang sudah ada di tangannya. Bolpoin itu, lalu terjatuh. Akhirnya menggelinding di bawah meja. Ayunda merundukkan kepala untuk mencari bolpoin itu. Cinta nama bolpoin itu. Pada waktu yang sangat lama, ketika Ayunda memberikan nama kepada suatu benda yang biasanya disebut Ibunya bolpoin. Begitu juga dengan tanggapan teman-temanya. Dengan imajinasi yang lain, Tetap saja Cinta nama yang disematkan kepada bolpoin itu oleh Ayunda. Cinta masih bersembunyi di bawah meja kayu, yang biasanya di pakai Ayunda untuk belajar dan menulis.

Tangan Ayunda merogoh-rogoh di bawah kolong meja itu. meja yang tua, berat, dan berbau kayu yang sudah tua. Tangan Ayunda tidak sampai untuk menolong Cinta. Cinta yang sedang bersembunyi di bawah kolong  yang gelap itu. Meraihnya dengan alat bantupun, tetap saja belum bisa. Di bawah kolong yang begitu gelapnya. Hal paling ditakutkan Ayunda, ialah pada tingkah laku tikus yang suka berada di kegelapan. Tikus suka menggigit, tikus suka merusak yang bagus menjadi jelek. Begitulah yang ada dipikirannya Ayunda. Bagaimana nasib Cinta di bawah kolong meja itu.

Ayunda seorang anak perempuan yang masih berumur 10 tahun dengan jenjang pendidikan kelas 5 SD. Mengerti apa Ayunda dengan arti kata cinta, cinta yang membuat Ayah dan Ibunya menikah. Akhirnya menghendaki Ayunda untuk berada di dunia atau cerita Kakek Ayunda yang mengejar nenek sampai ke ujung jurang hanya dengan satu kata cinta, Lantas tidak ada sebuah kejadian seperti Romeo dan Juliet. Kakek berkata “Zaman Kakek dan Nenek tidak sepahit cerita Romeo dan Juliet.” Ayunda belum mengerti apa-apa mengenai arti cinta, namun Ayunda sangat sering mendengar kosa kata cinta dan itu dimana saja. Kakek bercerita banyak mengenai romantisme di masa muda. Bagaimana zaman romantis kakek dan nenek dulu. Itu yang selalu dibanggakan kakek.  Hingga akhirnya Ayunda terobsesi dengan kata cinta, yang dia pikir berujung kesenangan dan kebahagiaan. Ayunda merasa puas akan hal itu.

Ayunda tetap tidak mengerti bahasa apa-apa mengenai cinta, yang  Ayunda mengerti bahwa cinta adalah kosa kata yang sering dia dengar di acara stasiun televisi. Cinta, Ayunda dapat mengartikannya dengan sebuah senyuman.  Lalu beranjak bermain, bersuara tralala dan tralili.

Ayunda baru mengerti akan hal itu, hingga akhirnya bolpoin yang selalu menemaninya awal kelas 4 SD hingga sampai saat ini. Ayunda akhirnya  mengerti, bahwa arti kata cinta menemani. Ayunda masih  terlihat berpikiran mungkin di dalam pikirannya, sambil bertindak polos saat meminta uang jajan kepada ibunya.

            Dengan proses panjang yang Ayunda pikirkan saat bermain dengan kompor-kompor plastik, buah plastik dan tentunya pisau plastik. Pada proses saat Ayunda bermain masak-masakkan, ada suatu hal yang Ayunda pikirkan. Tiba-tiba saja Ayunda berlari, menemui bolpoin wangi yang selalu menemaninya di kelas dan membuat Ayunda selalu mendapat peringkat di kelasnya.  Dengan perasaan yang ceria, mata disipitkan lalu tangan Ayunda mengambil bolpoin dan diangkat ke atas. “Kamu kuberi nama Cinta.”

Begitulah proses perjalanan Ayunda atas pemberian nama kepada bolpoin kesayangannya yang bernama Cinta.  Padahal Ayunda masih belum terlalu mengerti akan arti cinta.

Ayunda takut, kepada tikus yang nantinya menggigit cinta kesayangannya. Sebab, kesan tikus dimata Ayunda terkesan jelek. Sebab tikus sering ia lihat di acara televisi maupun di keseharian Ayunda dari bangun sampai tidur lagi. Dengan jangka waktu seperti itu, Ayunda sering bertemu dengan tikus, dan akhirnya Ayunda mempunyai pandangan negative pada tikus. Resah, dari gerak-gerik bahasa tubuh Ayunda. Masih memikirkan bagaimana mengambil cinta di kolong hitam yang banyak tikusnya. “ Cinta baik-baik disana ya, Ayunda bakal menolongmu.” Hati Ayunda berceloteh seperti itu. seakan-akan ia tidak mau kehilangan Cinta.

Pikiran Ayunda belum sampai, untuk bisa menggunakan barang-barang lain selain yang dia paham terhadap tongkat yang panjang. Tongkat yang panjang dan bisa meraih apapun, ternyata pemikiran Ayunda belum benar. Ayunda tidak memakai sapu untuk mengambil Cinta, tidak mengusik-usik Cinta dengan bulu-bulu sapu yang lembut. Pemahaman Ayunda tidak sampai disitu, yang dipahami hanya ingin meraih dengan jari-jemari kecil Ayunda sendiri. Dengan hal itupun Ayunda tetap saja tidak mengerti menggunakan barang lain, untuk menolong benda mati yang tidak mempunyai perasaan itu. Bolpoin itu menawarkan cinta kepada Ayunda, perihal itulah Ayunda melakukan dengan cara hati-hati.

Bintang mulai mengundurkan diri satu persatu di langit, sedangkan bulan bersembunyi pelan dengan mengendap-endap di balik awan. Ayunda tidak bisa tidur. Mulutnya manyun, hingga semua kerutan di wajah Ayunda berpesan. Bahwa disaat itulah titik cantik Ayunda sebenarnya. Saat cemberut karena memikirkan sesuatu  yang sangat ia cemaskan keberadaannya.

Di atas kasur yang berwarna ungu muda, guling yang Ayunda peluk erat-erat. Tetap saja tidak membuat dirinya nyaman. Hari memang sudah semakin gelap. Sang bulan yang tadi bersembunyi di balik awan, akhirnya pergi entah kemana. Ruang di luar kamar Ayunda sudah memadamkan cahaya dan rumah-rumah tetangganya juga begitu, hanya kamar ayunda saja yang masih berani  menyalakan cahaya. Ayunda berani pada saat itu, karena keberanian itu timbul dari kecemasaannya dan ketakutannya terhadap Cinta.

Suara, rengekkan kecil terdengar dari balik pintu yang bercahaya. ternyata itu Ayunda. Ayunda yang menangis tersedu-seda, menangis sejadi-jadinya. Tangisan rengekkan anak seumur sepuluh tahun yang ingin sekali menolong cinta. Ayunda baru mengerti arti kecil cinta, tetapi mengapa Ayunda bisa menangis.

Tangisan Ayunda mulai pelan, bebarapa menit kemudian membesar dan melengking seperti tangisan bayi yang menginginkan sesuatu. Ibu Ayunda masih terduduk di kamar dengan cahaya lampu tidur yang menghangatkan sela-sela selimut dan bantal yang sedang dipeluk ayahnya. Mendengar tangisan itu. Ibu Ayunda mendengar dari sejak tadi, sejak suara tangisan itu pertama kali muncul, namun ibu Ayunda ingin sesekali mendengarkan tangisan itu sampai habis. Karena ibu selalu menghentikan tangisan Ayunda di saat Ayunda mulai menangis. Ibu Ayunda mulai berpikir mengenai tangisan anaknya.  Berpikir mengenai tangisan anaknya yang tidak dimengerti karena hal apa. Biasanya tangisan Ayunda tidak seperti itu, tidak begitu tulus seperti itu. ada perbedaan yang dipahami ibunya mengenai tangisan itu. Ibu Ayunda merasa ada hal lain.

Ayunda menurunkan kakinya kelantai, meresapi tangisannya yang mulai habis. Menyentuh dinding berwarna biru kesukaannya. Ayunda mencari hiburan atas kehilangannya akan Cinta. Melihat-lihat pesawat yang  menempel diatas kamar tidurnya. Tersenyum kecil “Itu bikinan Kakek.“ Ayunda mulai menangis lagi. Tangisannya mulai lantang. Mulutnya mulai membesar sehingga tangisan itu dapat mengalahkan auman singa. Ayunda menangis lagi, karena teringat kepada Kakeknya. Kakek yang mengenalkan arti cinta kepada Ayunda selain acara televisi, dan Kakek pula yang memberikan Cinta kepada Ayunda. Semakin menjadinya tangisan itu dikarenakan alasan dari memori Ayunda sendiri.

Ayunda berlari. Melemparkan dirinya diatas kasur busa yang empuk. Ayunda seakan-akan mulai lupa dengan keadaan Cinta, karena Ayunda mulai larut akan perasaannya terhadap Cinta. Mulai lagi Ayunda yang berpikiran yang tidak-tidak “Kenapa Cinta tidak meminta pertolongan kepadaku, kenapa Cinta tidak berteriak seperti acara televisi yang aku tonton. Melolongkan suara untuk meminta pertolongan, apakah Cinta benar-benar membutuhkan aku.” Dengan tersipu malu seperti itu, membuat Ayunda secara tidak sadar bahwa air matanya sudah berhenti pada saat melakukan apa dan berpikir apa. Selama satu jam Ayunda mengacuhkan Cinta, karena persepsinya akan Cinta mengenai hal tadi yang ada dipikirannya, karena Cinta tidak meminta pertolongan. Ayunda tidak memahami akan cinta sebenarnya, Ayunda memang masih polos mengahadapi hal sebenarnya. Cinta adalah benda mati, kenapa Ayunda begitu mencintai benda mati. benda mati tidak bisa meminta pertolongan seperti acara televisi yang Ayunda biasanya tonton. Apakah benar benda mati pantas untuk dicintai dan ditangisi. Tetap saja Ayunda tidak akan mengerti berbagai asumsi semua itu, yang hanya ada dipikiran Ayunda “Bagaimana menolong Cinta yang berada di bawah sana. Pasti Cinta lagi di gangguin tikus-tikus nakal.”

Jam mulai menunjukkan pukul 1 malam. Ayunda berpikir lagi untuk bagaimana cara menolong Cinta. Menolong Cinta dari kesesatan dan kegelapan. Akhirnya ada suatu pemikiran yang sangat cemerlang dari pengetahuan polos ayunda sendiri.  “Cinta tidak membutuhkan aku saja, tetapi Cinta membutuhkan kita. Berarti membutuhkan Bunda dan Ayah.” Ayunda memanggil Ibunya dengan sebutan Bunda, karena dengan sebutan Bunda lebih nyaman di telinganya.

Setelah Ayunda berhenti menangis. Ibu beranjak melangkahkan kakinya untuk ke dapur. Ruangan yang begitu gelap  dan samar-samar, dibantu cahaya bulan yang mulai ikut mengantuk. Suara kulkas terdengar pelan. Ibu mengambil botol minuman, lalu menuangkannya ke gelas putih yang terlihat bercahaya. Ibu membuat dirinya nyaman, dengan duduk di meja makan keluarga dan berpikir tenang.

“Bunda.”

Suara panggilan Ayunda yang begitu pelan dan lirih, terdengar oleh Ibunya. Ibunya tersenyum “Akhirnya anakku membutuhkanku saat ini.“ Ibunya langsung saja berjalan. Dengan wajah yang cantik  dan dapat meluluhkan sinar rembulan yang sedang mengantuk. Ibunya berdiri di pintu masuk kamar Ayunda. Memeluk bagian sisi pintu dengan santainya. Ibunya lalu mengucapkan pertanyaan yang dipikirkan sejak mendengar tangisan Ayunda dari awal tadi.

Ibu : “Kenapa kamu menangis Ayunda, Bunda mendengarmu dari tadi. Sejak kamu mulai menangis dan sampai tangisanmu mulai meredah.”

Ayunda : “Bunda mendengarku?” wajah memerah dan tersipu malu.

Ibu : “Iya, Bunda mendengarkanmu Ayunda” tersenyum lucu, akan tingkah ayunda.

Ayunda : “Bunda, Cinta…!”

Ibu : “Iya, ada apa dengan Cinta Ayunda.”

Ayunda : “Cinta jatuh dari meja besar itu dan menyelinap dibawah kolong yang gelap itu. aku mau membantu Cinta dengan meraihnya memakai tanganku. Tapi tetap saja tidak bisa. Aku juga meminta bantuan tongkat untuk meraihnya tetap tidak bisa Bunda. “

Ibu : “Em, em” tangan yang menyentuh dagu, membantu untuk mencari solusi. “Kenapa Ayunda tidak menggunakan sapu. Pasti akan lebih mudah untuk meraihnya Ayunda.”

Ayunda : “Tidak, tidak Bunda” ( sambil menggelengkan kepala). “Ayunda tidak mau menolong Cinta dengan sapu, sebab sapu akan membuat Cinta merasa geli. Pasti Cinta akan mengulangi kejadian ini lagi. Hal lainnya Bunda, Ayunda mau menolong Cinta dengan jari-jari Ayunda sendiri” tertawa kecil.

Ibu : “Baik kalau begitu Ayunda” menggelitik Ayunda dengan pelan. “Kita angkat meja ini dan  menolong cinta.”

Meja belajar yang besar, dipesan khusus oleh Ayah Ayunda. Meja yang terbuat dari kayu jati. Kayu yang yang tidak bisa dimakan rayap-rayap nakal, sesuai dengan permintaan yang didengar Ayah saat mengobrol dengan Ayunda. Meja itu bernama Dolbi. Ayunda suka menamakan barang-barang miliknya yang dia sukai. Buku hariannya juga dinamai Sophie. Nama yang ia lihat dari buku novel saat ke toko buku bersama Ibunya.

Dolbi diangkat oleh Ibu dengan setengah tenaga, sedangkan Ayunda dengan sepenuh tenaga. Dolbi lebih maju dari posisi sebagaimana dia terdiam semestinya. Wajah Ayunda  tersenyum lebar, akhirnya Ayunda menemukan cinta. keriangan Ayunda melambangkan kepuasan dan kesenangan batin yang tidak bisa di bohongi. “Aku telah menolongmu Cinta. Menolongmu dari kesesatan dan kegelapan. Satu hal lagi aku menolongmu dari gangguan tikus-tikus yang nakal. Pasti kamu merasakan kesepiankan Cinta, karena aku yang selalu menuntunmu, dan aku juga butuh tuntunanmu.”

Ibunya tersenyum lepas. Melihat keadaan Ayunda yang sudah mulai tersenyum lagi. Menggelengkan kepala karena pemikiran polos dan imajinasi Ayunda yang lebih besar dari umurnya sepuluh tahun. Ibu Ayunda mensyukuri itu.

Ibu : “Ayunda, cintakan sudah ketemu. Sekarang Ayunda tidur yah” tersenyum lepas.

Ayunda : “Belum Bunda. Ayunda ingin menanyakan satu ha lagi. Cinta itu artinya apa? Mengapa Ayunda menangis, saat Ayunda berada di bawah kolong meja gelap itu” bertanya sambil menaikkan alis matanya.

Ibu : “Ayunda, cinta itu artinya merasakan.”

Ayunda : “Merasakan apa Bunda?”

Ibu : “Tadi Ayunda merasakan apa?”

Ayunda : “Merasakan kehilangan, ketakutan, dan tidak mau cinta di ganggu sama tikus yang nakal Bunda.”

Ibu : “Nah, seperti itu contohnya Ayunda.”

Ayunda : “Berarti kalau kita kehilangan dan ketakutan itu rasanya cinta bunda?”

Ibu : ”Tidak juga Ayunda. Setelah Ayunda menemukan cinta, apa yang dirasakan Ayunda?”

Ayunda : “Senang dan bahagia Bunda.”

Ibu : “Seperti itulah artinya Ayunda.”

Ayunda : “Terimakasih Bunda.”

Ayunda merasakan hal yang sangat puas pada pagi itu. pertama bisa menolong Cinta dari kegelapan dan yang kedua Ayunda mendapat kosa kata baru mengenai arti cinta dari Bundanya. Ayunda mengucapkan terimakasih kepada Tuhan yang telah mendengarkan keluh kesahnya. Ayunda dengan senyum sumringahnya, mulai menuntun Cinta untuk bertemu dengan Sophie. Mulai Ayunda memasuki dunianya. Dunia yang ia curhatkan dengan Sophie sahabat dekatnya, bahkan Sophie sudah ia anggap seperti kakaknya sendiri. Kakak yang selalu mendengarkan curhatan adiknya.

Sophie. Kamu tahu tidak, tadi Cinta berada di bawah kolong meja yang gelap. Aku takut Sophie, takut Cinta diganggu oleh tikus-tikus yang nakal. Kalau Cinta diganggu oleh tikus, bisa kacau urusannya Sophie. Tikuskan kerjaannya suka merusak, Sophie. Kalau tikus bertemu dengan Cinta, nantinya akan membuat Cinta semakin rusak pula. Kamu mengertikan Sophie bagaimana kalau rusak itu seperti apa?

Aku sangat senang Sophie. Akhirnya aku bisa menolong cinta, tetapi aku memikirkan banyak cara untuk menolong Cinta. Pertolongan pertamaku meraihnya dengan jari-jariku, tetapi tanganku tidak dapat meraihnya. Kedua, aku menolong Cinta dengan tongkat. Sama saja, aku tetap tidak bisa menolongnya. kata Bunda, kenapa aku tidak menggunakan sapu untuk menolong Cinta. aku merasa aneh sendiri dengan jawabanku Sophie. Aku menjawab, kalau aku menolong Cinta dengan sapu, akan membuat Cinta merasa geli dan Cinta akan mengulangi perbuatan itu lagi. Begitu seingatku mengenai alasanku itu Sophie. tapi apa pengaruhnya yaa Sophie? menurutku geli  menimbulkan kekampokkan, seperti ibu yang suka menggelitikku. Hihi.

Sophie, Cinta banyak mengajarkanku malam dan pagi ini. Cinta mengajarkan aku menangis, berarti cinta itu artinya menangis. Kalau Bunda bilang cinta itu merasakan, apakah menangis juga merasakan. Tetapi yang aku rasakan hanya kehilangan dan ketakutan. Mengenai menangis, Aku akan bertanya kepada Bunda lagi Sophie, kamu siap-siap saja yaa, dengarkan celotehanku ini.

Oh iya Sophie, sebelum Aku menolong Cinta. Aku bersama Bunda mengangkat meja terlebih dahulu. Meja itu berat sekali Sophie, menolong Cinta saja harus mengangkat hal yang berat. Apakah harus seperti itu Sophie, butuh proses yang berat untuk merasakan cinta, seperti yang aku alami ini. Mungkin aku akan bertanya lagi pada Bunda, pastinya aku dapat menambah kosa kata baru mengenai arti cinta Sophie. Satu hal lagi Sophie, kenapa cintaku berbeda, Kakek kepada Nenek, Ayah kepada Bunda, sedangkan Aku kepada bolpoin?

Malam Sophie, terimakasih yaa sudah menemani Ayunda pada pagi ini.


Tangan Ayunda sudah lelah, menuntun Cinta untuk berdekatan dengan Sophie. Mulut Ayunda menguap, seiring langkah kaki kecilnya menuju kasur kesayangannya. Semuanya mulai hilang dari pandangan Ayunda kecil. Hilang dari pikiran nyata dan imajinasinya, hingga akhirnya Ayunda mulai berkelana lagi di dunia mimpinya.




Selasa, 19 Maret 2013

Amarah rasa


Aku bersatu dengan sebuah penalaran, dan aku mulai bermain dengan sebuah kata-kata kebijakkan. Entah apa. langit semakin risih, semakin tidak bersahaja lagi. Mulai menunjukkan ketegangan mereka. Walaupun sekecil senyuman yang tak tampak terlihat seperti biasanya. Mulailah aku melayang-layang diantara kebimbanganku, menghadapi segala perumpamaan yang ada.
Aku merasa kaku, aku merasa tidak mempunyai gairah di ruang ini. tertahan jauh yang aku tidak mengerti berada di penjara yang mana. Penjara yang tampak asing bagiku. Yang memahami ketidakjujuranku.

Merasakan angin yang kurasa mereka bimbang untuk menghampiri aku atau tidak. Menyentuhku atau acuh. Aku merasakan ada obrolan diantara mereka yang mengandung kebimbangan lagi, terasa ringan saat mereka merasa tidak perlu untuk menyentuh.

Aku masih tetap merasakan obralan mereka, yang membuatku merasa bosan dan tertawa seperti orang gila, lagi-lagi mereka berbisik tak karuan. Hembusan sesaat, gemuruh yang tidak berkepanjangan. Aku semakin berbuat yang tidak-tidak di bagian tepi kebanggaan. Sesuatu yang ganjil bagiku untuk menyapa, memanfaatkan mereka utnuk menyentuh tubuhku. semakin lama, semakin aku menjadi memerah dan mulai gusar, mulai berkata keseriusan mereka terhadap kesahajaan yang mulai aku bimbangkan. Katakan saja kalau malas untuk menyapa dan memberi kedinginan sesaat, katakan baru hari ini kalian libur dan menyapa keberuntungan yang beterbangan bersama oksigen. Aku muak dengan segala nama yang membuatmu merasa di agungkan, sebenarnya kalian dimana yang aku pertanyakan. Apa yang kalian perbincangkan, untuk menyentuh saja perlu waktu lama.