Cahaya matahari menyapu lantai-lantai kayu
rumah Mariah, namun tidak terlalu kasar dan panas cahaya itu menyapa
kerutan-kerutan kayu coklat yang berumur tua tersebut. Mariah sedang melakukan
kegiatan sehari-harinya di pagi seusai ia dari kebun yang ia garap. Pukul jam
09.00 Mariah sibuk dengan memegang besi bundar yang panjang, lalu ia tiupkan ke
tungku api yang berukuran sedang. Mariah lakukan terus-menerus, agar api
tersebut menyala yang besar hingga air mulai mendidih.
Tetapi sejam yang lalu adiknya meninggal
tertimpa besi, panjang, dan besar. Besi yang mengalirkan air-air untuk ia dan
warga kampungnya untuk meminum dan hidup beberapa tahun kemudian. Akhirnya besi
itu terlepas dan banyak mengeluarkan air bersih, sehingga membuat penduduk
dusun tersebut menangis dan tidak akan mempunyai deposit air untuk satu tahun,
sebab air tersebut terbuang percuma oleh adiknya.
Adiknya,
Kunto namanya. Berbadan kecil, kurus, dan berlengan panjang. Lengan untuk
bisa mencapai buah-buah jatuh yang masuk kesemak belukar. Tidak cukup dengan
tangan yang panjang saja, adiknya mempunyai pikiran cerdas untuk bisa mengerti
bagaimana hewan bisa mengambil kelapa atas perintahnya. Nasib berkata lain
terhadap adiknya bernama Kunto, adiknya mati tertimpa besi panjang yang mengaliri
air sampai ke dusun mereka. Air yang menghidupi orang banyak. Demi membuat
warga dusun senang dan tidak merasakan atas kekecewaan yang adiknya perbuat, ia
mencaci maki adiknya di depan warga dusun yang begitu banyaknya. Ia mengujamkan
tangan, lalu ia kepal dan ia hadapkan kemuka adiknya yang mati dengan wajah
serius menyiarkan ketidakmengertian. Ia marah, namun sakit dan iba. Ternyata
rasa bela dan tak tahannya atas rengekkan warga lebih membuat dirinya meludahi
darah yang mengalir di bawah hidung adiknya sendiri.
Warga dusun berbondong-bondong pulang,
melupakan apa yang mereka tangisi atas jatah air hidup untuk satu tahun.
Anak-anak kecil mulai bermain kelereng kembali di halaman luas yang jauh dari
besi-besi tersebut, sebab mereka takut nasib mereka sama seperti kunto. Bukan
kematianya yang mereka takuti, tetapi mereka tidak mau kaka mereka sama seperti
kaka kunto, Mariah.
Mariah melupakan kejadian yang ia lakukan
sejam yang lalu, yang hanya ia pikirkan saat itu hanya meniupkan api, begitu
sampai seterusnya. Api mulai menyala sedikit demi sedikit, kayu sudah mulai
luluh oleh segerombolan merah yang terus menyambar dan memanas. Mariah tidak
merasakan kekesalan sedikitpun, bahkan kebenciannyapun sudah hilang terhadap
adiknya. Ia tidak ingat ataupun sadar bahwa adiknya masih berada di lokasi besi
yang menimpa adiknya sejam yang lalu. Adiknya kunto masih berbadan yang lemas
dan darah terus keluar dari hidug mungil itu. kunto tidak bernafas lagi, namun
jiwanya melihat ia sedang lelap tertidur di atas pasir yang tebal dengan
debu-debu di sekitarnya. Rerumputan yang mati akan kegersangan di wilayah
tersebut, sebab hujan tidak pernah melewati dusun mereka beberapa tahun ini. kunto terdiam melihati jasadnya, ia tidak
menangis, marah, jengkel ataupun tertawa. Diam memainkan alis tebalnya ke atas
dan kebawah, mungkin kunto berpikir mau di bawah kemana jasadnya itu. sedangkan
alam yang merasakan kegersangan itu, terhibur atas kematian kunto. Terhibur
karena kunto membuat aliran pipa air yang panjang itu terlepas dari
pasangannya.
Jasad kunto yang mulai memucat, di saat
itu pula matahari hari mulai menundukkan keberanian mereka terhadap bumi ini.
tidak ada bau tak sedap dari jasad kunto, sebab baru beberapa jam ia mati. jiwa
kunto yang memerhatikan jasadnya sendiri, mulai iba. Tanpa berpikir panjang
kunto membawanya jasadnya pergi. Pergi ke perahu, lalu mendayung diatas air
asin yang terus berombak ke Selatan maupun ke Utara, yang terpenting berbagai
penjuru arahpun hingga perahu tersebut mengawetkan jasad tersebut.
Mariah sudah menyiapkan teh hijau 3 gelas,
untuk ayah, ibu, dan adiknya yang ia ludahi tadi pagi. Dengan pandangan kosong
dan tanpa ada rasa sedih yang mendalam atas kehilang mereka semua. Ayah yang
meninggal karena rela bertahan atas pembelaan terhadap tanah yang tidak ada
suratnya, ibu yang meninggal sehabis
menimba air di sumur lalu terperosok kedalam tanpa ada yang tau bahwa ibunya
berada didalam sana dan akhirnyapun ia tidak membawa jasad ibunya keatas. Ia
berpikir biarlah ibunya tenang di sumur itu, hingga akhirnya ia membuat sumur
baru di samping sumur kuburan ibunya.
Maria
berjalan pelan menuju ke jendela-jendela kayu yang lebar untuk ditutup. Mariah
lalu pergi ke pantai, ia mendengar suara berisiknya ombak yang mampu membuat
dirinya tenang. Bintang-bintang hanya satu yang berdiam diri di atas, hanya
satu bintang itu yang ia lihat. Maria berpikir bahwa ini, mungkin pertanda
hujan. Maria mengacuhkan pemikirannya terhadap ramalan cuaca yang ia buat,
sampai akhirnya ia menemukan perahu di atas pasir di bawah bebatuan pantai.
Mata Maria menjadi membesar , mulut Maria terbuka lebar, dan tiupan angin
meniup-niup rambutnya. Mariah senang, hingga akhirnya ia menari dengan sampan
di atas perahu itu, lalu mengeluarkan syair yang itu terdengar seperti
dendangan
Sampaikan aku dengan adikku
Kunto yang ku cacimaki
Sampaikan aku, dengan
benturan ombak
Perih, perih,
Aku terus mendayung “sampan”
Malam-malam
Terdiam hujan, malu-malu
Aku tau hujan malu
Sampaikan pada ayah dan ibuku
Bahwa aku tak takut kepada kematian
Namun
Aku takut
Takut… pada mereka
Hanya sedikit saja Mariah bersyair. Maria
berkata pada adiknya “ kunto, kamu
mengertikan kenapa kaka marah padamu, mesti kamu telah hilang nyawamu, pasti
kamu mengerti”.