Rabu, 09 Januari 2013

TAKUT




Cahaya matahari menyapu lantai-lantai kayu rumah Mariah, namun tidak terlalu kasar dan panas cahaya itu menyapa kerutan-kerutan kayu coklat yang berumur tua tersebut. Mariah sedang melakukan kegiatan sehari-harinya di pagi seusai ia dari kebun yang ia garap. Pukul jam 09.00 Mariah sibuk dengan memegang besi bundar yang panjang, lalu ia tiupkan ke tungku api yang berukuran sedang. Mariah lakukan terus-menerus, agar api tersebut menyala yang besar hingga air mulai mendidih.

Tetapi sejam yang lalu adiknya meninggal tertimpa besi, panjang, dan besar. Besi yang mengalirkan air-air untuk ia dan warga kampungnya untuk meminum dan hidup beberapa tahun kemudian. Akhirnya besi itu terlepas dan banyak mengeluarkan air bersih, sehingga membuat penduduk dusun tersebut menangis dan tidak akan mempunyai deposit air untuk satu tahun, sebab air tersebut terbuang percuma oleh adiknya.

Adiknya,  Kunto namanya. Berbadan kecil, kurus, dan berlengan panjang. Lengan untuk bisa mencapai buah-buah jatuh yang masuk kesemak belukar. Tidak cukup dengan tangan yang panjang saja, adiknya mempunyai pikiran cerdas untuk bisa mengerti bagaimana hewan bisa mengambil kelapa atas perintahnya. Nasib berkata lain terhadap adiknya bernama Kunto, adiknya mati tertimpa besi panjang yang mengaliri air sampai ke dusun mereka. Air yang menghidupi orang banyak. Demi membuat warga dusun senang dan tidak merasakan atas kekecewaan yang adiknya perbuat, ia mencaci maki adiknya di depan warga dusun yang begitu banyaknya. Ia mengujamkan tangan, lalu ia kepal dan ia hadapkan kemuka adiknya yang mati dengan wajah serius menyiarkan ketidakmengertian. Ia marah, namun sakit dan iba. Ternyata rasa bela dan tak tahannya atas rengekkan warga lebih membuat dirinya meludahi darah yang mengalir di bawah hidung adiknya sendiri.

Warga dusun berbondong-bondong pulang, melupakan apa yang mereka tangisi atas jatah air hidup untuk satu tahun. Anak-anak kecil mulai bermain kelereng kembali di halaman luas yang jauh dari besi-besi tersebut, sebab mereka takut nasib mereka sama seperti kunto. Bukan kematianya yang mereka takuti, tetapi mereka tidak mau kaka mereka sama seperti kaka kunto, Mariah.

Mariah melupakan kejadian yang ia lakukan sejam yang lalu, yang hanya ia pikirkan saat itu hanya meniupkan api, begitu sampai seterusnya. Api mulai menyala sedikit demi sedikit, kayu sudah mulai luluh oleh segerombolan merah yang terus menyambar dan memanas. Mariah tidak merasakan kekesalan sedikitpun, bahkan kebenciannyapun sudah hilang terhadap adiknya. Ia tidak ingat ataupun sadar bahwa adiknya masih berada di lokasi besi yang menimpa adiknya sejam yang lalu. Adiknya kunto masih berbadan yang lemas dan darah terus keluar dari hidug mungil itu. kunto tidak bernafas lagi, namun jiwanya melihat ia sedang lelap tertidur di atas pasir yang tebal dengan debu-debu di sekitarnya. Rerumputan yang mati akan kegersangan di wilayah tersebut, sebab hujan tidak pernah melewati dusun mereka beberapa tahun ini.  kunto terdiam melihati jasadnya, ia tidak menangis, marah, jengkel ataupun tertawa. Diam memainkan alis tebalnya ke atas dan kebawah, mungkin kunto berpikir mau di bawah kemana jasadnya itu. sedangkan alam yang merasakan kegersangan itu, terhibur atas kematian kunto. Terhibur karena kunto membuat aliran pipa air yang panjang itu terlepas dari pasangannya.

Jasad kunto yang mulai memucat, di saat itu pula matahari hari mulai menundukkan keberanian mereka terhadap bumi ini. tidak ada bau tak sedap dari jasad kunto, sebab baru beberapa jam ia mati. jiwa kunto yang memerhatikan jasadnya sendiri, mulai iba. Tanpa berpikir panjang kunto membawanya jasadnya pergi. Pergi ke perahu, lalu mendayung diatas air asin yang terus berombak ke Selatan maupun ke Utara, yang terpenting berbagai penjuru arahpun hingga perahu tersebut mengawetkan jasad tersebut.

Mariah sudah menyiapkan teh hijau 3 gelas, untuk ayah, ibu, dan adiknya yang ia ludahi tadi pagi. Dengan pandangan kosong dan tanpa ada rasa sedih yang mendalam atas kehilang mereka semua. Ayah yang meninggal karena rela bertahan atas pembelaan terhadap tanah yang tidak ada suratnya, ibu yang  meninggal sehabis menimba air di sumur lalu terperosok kedalam tanpa ada yang tau bahwa ibunya berada didalam sana dan akhirnyapun ia tidak membawa jasad ibunya keatas. Ia berpikir biarlah ibunya tenang di sumur itu, hingga akhirnya ia membuat sumur baru di samping sumur kuburan ibunya.

 Maria berjalan pelan menuju ke jendela-jendela kayu yang lebar untuk ditutup. Mariah lalu pergi ke pantai, ia mendengar suara berisiknya ombak yang mampu membuat dirinya tenang. Bintang-bintang hanya satu yang berdiam diri di atas, hanya satu bintang itu yang ia lihat. Maria berpikir bahwa ini, mungkin pertanda hujan. Maria mengacuhkan pemikirannya terhadap ramalan cuaca yang ia buat, sampai akhirnya ia menemukan perahu di atas pasir di bawah bebatuan pantai. Mata Maria menjadi membesar , mulut Maria terbuka lebar, dan tiupan angin meniup-niup rambutnya. Mariah senang, hingga akhirnya ia menari dengan sampan di atas perahu itu, lalu mengeluarkan syair yang itu terdengar seperti dendangan

Sampaikan aku dengan adikku
Kunto yang ku cacimaki
Sampaikan aku, dengan    benturan ombak
Perih, perih,
Aku terus mendayung “sampan”

Malam-malam
Terdiam  hujan,     malu-malu
Aku tau hujan malu

Sampaikan pada ayah dan ibuku
Bahwa aku tak takut kepada kematian
Namun
Aku takut
Takut… pada mereka

Hanya sedikit saja Mariah bersyair. Maria berkata pada adiknya “ kunto, kamu mengertikan kenapa kaka marah padamu, mesti kamu telah hilang nyawamu, pasti kamu mengerti”.