Kamis, 21 Maret 2013

Cinta



Celah langit menampakkan bintang yang lagi sengit terhadap bulan. Raut wajah Ayunda berpesan mengenai kebingungannya, alisnya diangkat ke atas. Menatap ke jendela. Tangan yang menopang dagunya yang elok, membuat ayunda benar-benar berpikir kosong. Tingkah laku langit dia perhatikan saja pada waktu itu. pikiran Ayunda memain-mainkan bolpoin yang sudah ada di tangannya. Bolpoin itu, lalu terjatuh. Akhirnya menggelinding di bawah meja. Ayunda merundukkan kepala untuk mencari bolpoin itu. Cinta nama bolpoin itu. Pada waktu yang sangat lama, ketika Ayunda memberikan nama kepada suatu benda yang biasanya disebut Ibunya bolpoin. Begitu juga dengan tanggapan teman-temanya. Dengan imajinasi yang lain, Tetap saja Cinta nama yang disematkan kepada bolpoin itu oleh Ayunda. Cinta masih bersembunyi di bawah meja kayu, yang biasanya di pakai Ayunda untuk belajar dan menulis.

Tangan Ayunda merogoh-rogoh di bawah kolong meja itu. meja yang tua, berat, dan berbau kayu yang sudah tua. Tangan Ayunda tidak sampai untuk menolong Cinta. Cinta yang sedang bersembunyi di bawah kolong  yang gelap itu. Meraihnya dengan alat bantupun, tetap saja belum bisa. Di bawah kolong yang begitu gelapnya. Hal paling ditakutkan Ayunda, ialah pada tingkah laku tikus yang suka berada di kegelapan. Tikus suka menggigit, tikus suka merusak yang bagus menjadi jelek. Begitulah yang ada dipikirannya Ayunda. Bagaimana nasib Cinta di bawah kolong meja itu.

Ayunda seorang anak perempuan yang masih berumur 10 tahun dengan jenjang pendidikan kelas 5 SD. Mengerti apa Ayunda dengan arti kata cinta, cinta yang membuat Ayah dan Ibunya menikah. Akhirnya menghendaki Ayunda untuk berada di dunia atau cerita Kakek Ayunda yang mengejar nenek sampai ke ujung jurang hanya dengan satu kata cinta, Lantas tidak ada sebuah kejadian seperti Romeo dan Juliet. Kakek berkata “Zaman Kakek dan Nenek tidak sepahit cerita Romeo dan Juliet.” Ayunda belum mengerti apa-apa mengenai arti cinta, namun Ayunda sangat sering mendengar kosa kata cinta dan itu dimana saja. Kakek bercerita banyak mengenai romantisme di masa muda. Bagaimana zaman romantis kakek dan nenek dulu. Itu yang selalu dibanggakan kakek.  Hingga akhirnya Ayunda terobsesi dengan kata cinta, yang dia pikir berujung kesenangan dan kebahagiaan. Ayunda merasa puas akan hal itu.

Ayunda tetap tidak mengerti bahasa apa-apa mengenai cinta, yang  Ayunda mengerti bahwa cinta adalah kosa kata yang sering dia dengar di acara stasiun televisi. Cinta, Ayunda dapat mengartikannya dengan sebuah senyuman.  Lalu beranjak bermain, bersuara tralala dan tralili.

Ayunda baru mengerti akan hal itu, hingga akhirnya bolpoin yang selalu menemaninya awal kelas 4 SD hingga sampai saat ini. Ayunda akhirnya  mengerti, bahwa arti kata cinta menemani. Ayunda masih  terlihat berpikiran mungkin di dalam pikirannya, sambil bertindak polos saat meminta uang jajan kepada ibunya.

            Dengan proses panjang yang Ayunda pikirkan saat bermain dengan kompor-kompor plastik, buah plastik dan tentunya pisau plastik. Pada proses saat Ayunda bermain masak-masakkan, ada suatu hal yang Ayunda pikirkan. Tiba-tiba saja Ayunda berlari, menemui bolpoin wangi yang selalu menemaninya di kelas dan membuat Ayunda selalu mendapat peringkat di kelasnya.  Dengan perasaan yang ceria, mata disipitkan lalu tangan Ayunda mengambil bolpoin dan diangkat ke atas. “Kamu kuberi nama Cinta.”

Begitulah proses perjalanan Ayunda atas pemberian nama kepada bolpoin kesayangannya yang bernama Cinta.  Padahal Ayunda masih belum terlalu mengerti akan arti cinta.

Ayunda takut, kepada tikus yang nantinya menggigit cinta kesayangannya. Sebab, kesan tikus dimata Ayunda terkesan jelek. Sebab tikus sering ia lihat di acara televisi maupun di keseharian Ayunda dari bangun sampai tidur lagi. Dengan jangka waktu seperti itu, Ayunda sering bertemu dengan tikus, dan akhirnya Ayunda mempunyai pandangan negative pada tikus. Resah, dari gerak-gerik bahasa tubuh Ayunda. Masih memikirkan bagaimana mengambil cinta di kolong hitam yang banyak tikusnya. “ Cinta baik-baik disana ya, Ayunda bakal menolongmu.” Hati Ayunda berceloteh seperti itu. seakan-akan ia tidak mau kehilangan Cinta.

Pikiran Ayunda belum sampai, untuk bisa menggunakan barang-barang lain selain yang dia paham terhadap tongkat yang panjang. Tongkat yang panjang dan bisa meraih apapun, ternyata pemikiran Ayunda belum benar. Ayunda tidak memakai sapu untuk mengambil Cinta, tidak mengusik-usik Cinta dengan bulu-bulu sapu yang lembut. Pemahaman Ayunda tidak sampai disitu, yang dipahami hanya ingin meraih dengan jari-jemari kecil Ayunda sendiri. Dengan hal itupun Ayunda tetap saja tidak mengerti menggunakan barang lain, untuk menolong benda mati yang tidak mempunyai perasaan itu. Bolpoin itu menawarkan cinta kepada Ayunda, perihal itulah Ayunda melakukan dengan cara hati-hati.

Bintang mulai mengundurkan diri satu persatu di langit, sedangkan bulan bersembunyi pelan dengan mengendap-endap di balik awan. Ayunda tidak bisa tidur. Mulutnya manyun, hingga semua kerutan di wajah Ayunda berpesan. Bahwa disaat itulah titik cantik Ayunda sebenarnya. Saat cemberut karena memikirkan sesuatu  yang sangat ia cemaskan keberadaannya.

Di atas kasur yang berwarna ungu muda, guling yang Ayunda peluk erat-erat. Tetap saja tidak membuat dirinya nyaman. Hari memang sudah semakin gelap. Sang bulan yang tadi bersembunyi di balik awan, akhirnya pergi entah kemana. Ruang di luar kamar Ayunda sudah memadamkan cahaya dan rumah-rumah tetangganya juga begitu, hanya kamar ayunda saja yang masih berani  menyalakan cahaya. Ayunda berani pada saat itu, karena keberanian itu timbul dari kecemasaannya dan ketakutannya terhadap Cinta.

Suara, rengekkan kecil terdengar dari balik pintu yang bercahaya. ternyata itu Ayunda. Ayunda yang menangis tersedu-seda, menangis sejadi-jadinya. Tangisan rengekkan anak seumur sepuluh tahun yang ingin sekali menolong cinta. Ayunda baru mengerti arti kecil cinta, tetapi mengapa Ayunda bisa menangis.

Tangisan Ayunda mulai pelan, bebarapa menit kemudian membesar dan melengking seperti tangisan bayi yang menginginkan sesuatu. Ibu Ayunda masih terduduk di kamar dengan cahaya lampu tidur yang menghangatkan sela-sela selimut dan bantal yang sedang dipeluk ayahnya. Mendengar tangisan itu. Ibu Ayunda mendengar dari sejak tadi, sejak suara tangisan itu pertama kali muncul, namun ibu Ayunda ingin sesekali mendengarkan tangisan itu sampai habis. Karena ibu selalu menghentikan tangisan Ayunda di saat Ayunda mulai menangis. Ibu Ayunda mulai berpikir mengenai tangisan anaknya.  Berpikir mengenai tangisan anaknya yang tidak dimengerti karena hal apa. Biasanya tangisan Ayunda tidak seperti itu, tidak begitu tulus seperti itu. ada perbedaan yang dipahami ibunya mengenai tangisan itu. Ibu Ayunda merasa ada hal lain.

Ayunda menurunkan kakinya kelantai, meresapi tangisannya yang mulai habis. Menyentuh dinding berwarna biru kesukaannya. Ayunda mencari hiburan atas kehilangannya akan Cinta. Melihat-lihat pesawat yang  menempel diatas kamar tidurnya. Tersenyum kecil “Itu bikinan Kakek.“ Ayunda mulai menangis lagi. Tangisannya mulai lantang. Mulutnya mulai membesar sehingga tangisan itu dapat mengalahkan auman singa. Ayunda menangis lagi, karena teringat kepada Kakeknya. Kakek yang mengenalkan arti cinta kepada Ayunda selain acara televisi, dan Kakek pula yang memberikan Cinta kepada Ayunda. Semakin menjadinya tangisan itu dikarenakan alasan dari memori Ayunda sendiri.

Ayunda berlari. Melemparkan dirinya diatas kasur busa yang empuk. Ayunda seakan-akan mulai lupa dengan keadaan Cinta, karena Ayunda mulai larut akan perasaannya terhadap Cinta. Mulai lagi Ayunda yang berpikiran yang tidak-tidak “Kenapa Cinta tidak meminta pertolongan kepadaku, kenapa Cinta tidak berteriak seperti acara televisi yang aku tonton. Melolongkan suara untuk meminta pertolongan, apakah Cinta benar-benar membutuhkan aku.” Dengan tersipu malu seperti itu, membuat Ayunda secara tidak sadar bahwa air matanya sudah berhenti pada saat melakukan apa dan berpikir apa. Selama satu jam Ayunda mengacuhkan Cinta, karena persepsinya akan Cinta mengenai hal tadi yang ada dipikirannya, karena Cinta tidak meminta pertolongan. Ayunda tidak memahami akan cinta sebenarnya, Ayunda memang masih polos mengahadapi hal sebenarnya. Cinta adalah benda mati, kenapa Ayunda begitu mencintai benda mati. benda mati tidak bisa meminta pertolongan seperti acara televisi yang Ayunda biasanya tonton. Apakah benar benda mati pantas untuk dicintai dan ditangisi. Tetap saja Ayunda tidak akan mengerti berbagai asumsi semua itu, yang hanya ada dipikiran Ayunda “Bagaimana menolong Cinta yang berada di bawah sana. Pasti Cinta lagi di gangguin tikus-tikus nakal.”

Jam mulai menunjukkan pukul 1 malam. Ayunda berpikir lagi untuk bagaimana cara menolong Cinta. Menolong Cinta dari kesesatan dan kegelapan. Akhirnya ada suatu pemikiran yang sangat cemerlang dari pengetahuan polos ayunda sendiri.  “Cinta tidak membutuhkan aku saja, tetapi Cinta membutuhkan kita. Berarti membutuhkan Bunda dan Ayah.” Ayunda memanggil Ibunya dengan sebutan Bunda, karena dengan sebutan Bunda lebih nyaman di telinganya.

Setelah Ayunda berhenti menangis. Ibu beranjak melangkahkan kakinya untuk ke dapur. Ruangan yang begitu gelap  dan samar-samar, dibantu cahaya bulan yang mulai ikut mengantuk. Suara kulkas terdengar pelan. Ibu mengambil botol minuman, lalu menuangkannya ke gelas putih yang terlihat bercahaya. Ibu membuat dirinya nyaman, dengan duduk di meja makan keluarga dan berpikir tenang.

“Bunda.”

Suara panggilan Ayunda yang begitu pelan dan lirih, terdengar oleh Ibunya. Ibunya tersenyum “Akhirnya anakku membutuhkanku saat ini.“ Ibunya langsung saja berjalan. Dengan wajah yang cantik  dan dapat meluluhkan sinar rembulan yang sedang mengantuk. Ibunya berdiri di pintu masuk kamar Ayunda. Memeluk bagian sisi pintu dengan santainya. Ibunya lalu mengucapkan pertanyaan yang dipikirkan sejak mendengar tangisan Ayunda dari awal tadi.

Ibu : “Kenapa kamu menangis Ayunda, Bunda mendengarmu dari tadi. Sejak kamu mulai menangis dan sampai tangisanmu mulai meredah.”

Ayunda : “Bunda mendengarku?” wajah memerah dan tersipu malu.

Ibu : “Iya, Bunda mendengarkanmu Ayunda” tersenyum lucu, akan tingkah ayunda.

Ayunda : “Bunda, Cinta…!”

Ibu : “Iya, ada apa dengan Cinta Ayunda.”

Ayunda : “Cinta jatuh dari meja besar itu dan menyelinap dibawah kolong yang gelap itu. aku mau membantu Cinta dengan meraihnya memakai tanganku. Tapi tetap saja tidak bisa. Aku juga meminta bantuan tongkat untuk meraihnya tetap tidak bisa Bunda. “

Ibu : “Em, em” tangan yang menyentuh dagu, membantu untuk mencari solusi. “Kenapa Ayunda tidak menggunakan sapu. Pasti akan lebih mudah untuk meraihnya Ayunda.”

Ayunda : “Tidak, tidak Bunda” ( sambil menggelengkan kepala). “Ayunda tidak mau menolong Cinta dengan sapu, sebab sapu akan membuat Cinta merasa geli. Pasti Cinta akan mengulangi kejadian ini lagi. Hal lainnya Bunda, Ayunda mau menolong Cinta dengan jari-jari Ayunda sendiri” tertawa kecil.

Ibu : “Baik kalau begitu Ayunda” menggelitik Ayunda dengan pelan. “Kita angkat meja ini dan  menolong cinta.”

Meja belajar yang besar, dipesan khusus oleh Ayah Ayunda. Meja yang terbuat dari kayu jati. Kayu yang yang tidak bisa dimakan rayap-rayap nakal, sesuai dengan permintaan yang didengar Ayah saat mengobrol dengan Ayunda. Meja itu bernama Dolbi. Ayunda suka menamakan barang-barang miliknya yang dia sukai. Buku hariannya juga dinamai Sophie. Nama yang ia lihat dari buku novel saat ke toko buku bersama Ibunya.

Dolbi diangkat oleh Ibu dengan setengah tenaga, sedangkan Ayunda dengan sepenuh tenaga. Dolbi lebih maju dari posisi sebagaimana dia terdiam semestinya. Wajah Ayunda  tersenyum lebar, akhirnya Ayunda menemukan cinta. keriangan Ayunda melambangkan kepuasan dan kesenangan batin yang tidak bisa di bohongi. “Aku telah menolongmu Cinta. Menolongmu dari kesesatan dan kegelapan. Satu hal lagi aku menolongmu dari gangguan tikus-tikus yang nakal. Pasti kamu merasakan kesepiankan Cinta, karena aku yang selalu menuntunmu, dan aku juga butuh tuntunanmu.”

Ibunya tersenyum lepas. Melihat keadaan Ayunda yang sudah mulai tersenyum lagi. Menggelengkan kepala karena pemikiran polos dan imajinasi Ayunda yang lebih besar dari umurnya sepuluh tahun. Ibu Ayunda mensyukuri itu.

Ibu : “Ayunda, cintakan sudah ketemu. Sekarang Ayunda tidur yah” tersenyum lepas.

Ayunda : “Belum Bunda. Ayunda ingin menanyakan satu ha lagi. Cinta itu artinya apa? Mengapa Ayunda menangis, saat Ayunda berada di bawah kolong meja gelap itu” bertanya sambil menaikkan alis matanya.

Ibu : “Ayunda, cinta itu artinya merasakan.”

Ayunda : “Merasakan apa Bunda?”

Ibu : “Tadi Ayunda merasakan apa?”

Ayunda : “Merasakan kehilangan, ketakutan, dan tidak mau cinta di ganggu sama tikus yang nakal Bunda.”

Ibu : “Nah, seperti itu contohnya Ayunda.”

Ayunda : “Berarti kalau kita kehilangan dan ketakutan itu rasanya cinta bunda?”

Ibu : ”Tidak juga Ayunda. Setelah Ayunda menemukan cinta, apa yang dirasakan Ayunda?”

Ayunda : “Senang dan bahagia Bunda.”

Ibu : “Seperti itulah artinya Ayunda.”

Ayunda : “Terimakasih Bunda.”

Ayunda merasakan hal yang sangat puas pada pagi itu. pertama bisa menolong Cinta dari kegelapan dan yang kedua Ayunda mendapat kosa kata baru mengenai arti cinta dari Bundanya. Ayunda mengucapkan terimakasih kepada Tuhan yang telah mendengarkan keluh kesahnya. Ayunda dengan senyum sumringahnya, mulai menuntun Cinta untuk bertemu dengan Sophie. Mulai Ayunda memasuki dunianya. Dunia yang ia curhatkan dengan Sophie sahabat dekatnya, bahkan Sophie sudah ia anggap seperti kakaknya sendiri. Kakak yang selalu mendengarkan curhatan adiknya.

Sophie. Kamu tahu tidak, tadi Cinta berada di bawah kolong meja yang gelap. Aku takut Sophie, takut Cinta diganggu oleh tikus-tikus yang nakal. Kalau Cinta diganggu oleh tikus, bisa kacau urusannya Sophie. Tikuskan kerjaannya suka merusak, Sophie. Kalau tikus bertemu dengan Cinta, nantinya akan membuat Cinta semakin rusak pula. Kamu mengertikan Sophie bagaimana kalau rusak itu seperti apa?

Aku sangat senang Sophie. Akhirnya aku bisa menolong cinta, tetapi aku memikirkan banyak cara untuk menolong Cinta. Pertolongan pertamaku meraihnya dengan jari-jariku, tetapi tanganku tidak dapat meraihnya. Kedua, aku menolong Cinta dengan tongkat. Sama saja, aku tetap tidak bisa menolongnya. kata Bunda, kenapa aku tidak menggunakan sapu untuk menolong Cinta. aku merasa aneh sendiri dengan jawabanku Sophie. Aku menjawab, kalau aku menolong Cinta dengan sapu, akan membuat Cinta merasa geli dan Cinta akan mengulangi perbuatan itu lagi. Begitu seingatku mengenai alasanku itu Sophie. tapi apa pengaruhnya yaa Sophie? menurutku geli  menimbulkan kekampokkan, seperti ibu yang suka menggelitikku. Hihi.

Sophie, Cinta banyak mengajarkanku malam dan pagi ini. Cinta mengajarkan aku menangis, berarti cinta itu artinya menangis. Kalau Bunda bilang cinta itu merasakan, apakah menangis juga merasakan. Tetapi yang aku rasakan hanya kehilangan dan ketakutan. Mengenai menangis, Aku akan bertanya kepada Bunda lagi Sophie, kamu siap-siap saja yaa, dengarkan celotehanku ini.

Oh iya Sophie, sebelum Aku menolong Cinta. Aku bersama Bunda mengangkat meja terlebih dahulu. Meja itu berat sekali Sophie, menolong Cinta saja harus mengangkat hal yang berat. Apakah harus seperti itu Sophie, butuh proses yang berat untuk merasakan cinta, seperti yang aku alami ini. Mungkin aku akan bertanya lagi pada Bunda, pastinya aku dapat menambah kosa kata baru mengenai arti cinta Sophie. Satu hal lagi Sophie, kenapa cintaku berbeda, Kakek kepada Nenek, Ayah kepada Bunda, sedangkan Aku kepada bolpoin?

Malam Sophie, terimakasih yaa sudah menemani Ayunda pada pagi ini.


Tangan Ayunda sudah lelah, menuntun Cinta untuk berdekatan dengan Sophie. Mulut Ayunda menguap, seiring langkah kaki kecilnya menuju kasur kesayangannya. Semuanya mulai hilang dari pandangan Ayunda kecil. Hilang dari pikiran nyata dan imajinasinya, hingga akhirnya Ayunda mulai berkelana lagi di dunia mimpinya.




Selasa, 19 Maret 2013

Amarah rasa


Aku bersatu dengan sebuah penalaran, dan aku mulai bermain dengan sebuah kata-kata kebijakkan. Entah apa. langit semakin risih, semakin tidak bersahaja lagi. Mulai menunjukkan ketegangan mereka. Walaupun sekecil senyuman yang tak tampak terlihat seperti biasanya. Mulailah aku melayang-layang diantara kebimbanganku, menghadapi segala perumpamaan yang ada.
Aku merasa kaku, aku merasa tidak mempunyai gairah di ruang ini. tertahan jauh yang aku tidak mengerti berada di penjara yang mana. Penjara yang tampak asing bagiku. Yang memahami ketidakjujuranku.

Merasakan angin yang kurasa mereka bimbang untuk menghampiri aku atau tidak. Menyentuhku atau acuh. Aku merasakan ada obrolan diantara mereka yang mengandung kebimbangan lagi, terasa ringan saat mereka merasa tidak perlu untuk menyentuh.

Aku masih tetap merasakan obralan mereka, yang membuatku merasa bosan dan tertawa seperti orang gila, lagi-lagi mereka berbisik tak karuan. Hembusan sesaat, gemuruh yang tidak berkepanjangan. Aku semakin berbuat yang tidak-tidak di bagian tepi kebanggaan. Sesuatu yang ganjil bagiku untuk menyapa, memanfaatkan mereka utnuk menyentuh tubuhku. semakin lama, semakin aku menjadi memerah dan mulai gusar, mulai berkata keseriusan mereka terhadap kesahajaan yang mulai aku bimbangkan. Katakan saja kalau malas untuk menyapa dan memberi kedinginan sesaat, katakan baru hari ini kalian libur dan menyapa keberuntungan yang beterbangan bersama oksigen. Aku muak dengan segala nama yang membuatmu merasa di agungkan, sebenarnya kalian dimana yang aku pertanyakan. Apa yang kalian perbincangkan, untuk menyentuh saja perlu waktu lama.