Malam kini sudah semakin larut, bintangpun
malu menampakkan dirinya untuk menyapa cahaya yang lebih ramai dari keadaan sebelumnya. Seperti
2000 tahun yang lalu. Sedangkan aku menatap mereka dengan bertanya kemana
mereka. Semuanya secara perlahan, dengan keadaan yang begitu mudah dan susah
untuk di mengerti. Aku berbicara
mengenai sebuah perjalanan apa yang menurutku baik, setengah baik bahkan
menyalahi aturan apapun. Namun aturan yang mana. Begitu banyak aturan. Hingga begitu
perlu untuk di jadikan acuhan berprilaku yang semestinya, dan itupun belum
tentu juga di agukkan kepala oleh beberapa orang saja, intinya ada hal satu
yang harus perlu kuikuti. Itupun tetap mencari yang benar dalam kebenarannya.
Aku tidak menyalahi pesan yang berdering
di telingaku, aku tetap saja mengacuhkannya. Entah seberapa perlu mereka untuk
itu dan seberapa perlu aku untuk hal itu.
bagiku tidak sebanding dengan apa yang aku rasakan akhir-akhir ini. Aku
memahami ini dengan perjalanan spritualku yang singkat. Dengan hal ini, aku
berani mengacuhkan semuanya. Sebab aku anggap perlu untuk aku acuhkan beberapa
saat saja.
Mengenai perjalanan spritualku yang aku
anggap begitu singkat. Tak terlalu banyak yang aku dapat dari perjalanan aku
tersebut. kembali melihat diri ini yang berjalan dengan keadaan sempoyongan,
bahkan dianggap kosong. Mengenai kedudukanku untuk saat ini. Begitulah karna
aku memandang rendah diriku. Karna mengacuhkan sesuatu hal yang sangat wajib
dan itu yang dibutuhkan oleh diriku sendiri. Semuanya begitu cepat namun waktu
itu masih kubilang terbuang percuma.
Aku sudah dapat, perjalanan spritual
mengenai keyakinanku yang terus berkurang. Batere yang berada didalam tubuhku
meminta untuk di isi. Berisi kerohanian yang dinamis, anggapan-anggapan yang
membangunkanku dari lamunan duniawai yang memang aku berada di duniawi, namun
aku terseret. Aku menyimpulkan saja, dengan keadaanku seperti ini memang
membutuhkan perjalanan sepritualitas
ini.
Dari melalaikan kewajibanku yang begitu
bisa di ingat dan tak lupa setiap waktu, tetap saja bisa kutinggalkan.
Perjalanan sepritualku yang selalu terpikirkan membodohi diriku sendiri agar
tidak terulang lagi. Mungkin sudah satu juta ribu permintaan maafku dan bahkan
lebih dari itu. Aku harus tahu itu, bahwa aku berulang-ulang melakukan hal yang
sama. Mengenai seorang sahabat, dan sudah ku anggap saudaraku. Ia lebih
mengajarkan aku mengenai keyakinkan diri dan arti keimanan. Ia selalu berdoa
agar tidak di pertemukan waktu saat menggambar anatomi tubuh seorang perempuan
yang tak mengenakan busana. Ia menolak itu. namun ia ada ada usaha untuk
mengerjakan dari mata, tangan, kaki, dan akhirnya anatomi tubuh yang untungnya
ia tidak melanjutkan gambaran tersebut. sebab mendengar kabar berita bahwa ia
di terima beasiswa ke Riyadh “hah, luar
negeri sana” aku pasti menyusul dengan kota yang berbeda, kota yang sesuai
dengan karakterku. Aku belajar darinya,
mengenai perjalanan spiritual ini. Bahwa ia menolak menggambar bagian hal
gambar tersebut, dengan berdoa. Tidak dengan menentang gurunya. Dengan tanpa
menentangpun akhirnya ia resain dari kampus itu. mulai terisi setengah lagi
keberadaanku.
Masih mengenai dengan gambar itu. gambar
perempuan tanpa berbusana. Sedangkan aku masih mengagap biasa saja saat melihat
karya yang berupa apapun, dari media apa saja bentuk karya tersebut. yang
terpenting gambar tak berbusana mengenai perempuan. Mungkin ada yang salah
denganku, apa karena aku memandang hal tersebut dari sisi pandang lain.
Mengatas namakan seni. Jadi apa ini, dengan sudut pandang yang berbeda tersebut.
Membuat semuanya mengakat senjata lalu berperang. Mulai dari tombak biasa
sampai ke zaman yang maju, sehingga berubah menjadi senjata lebih canggih. Kedua
sisiku bertarung mengenai hal ini.
untungnya aku tidak mempunyai nafsu yang membangkitkan libidoku mengenai
hal ini. berdosa ataukah tidak, aku tidak bisa berkata-kata. Lebih baik menjaga
dan berpindah haluan sedikit.
Dalam hal lain, aku masih menyadari. Aku
belum mencapai titik kesungguhanku akan sesuatu hal yang aku capai. Dengan
mimpi yang telah kurangkai, dan sepatutnya ada tangga yang perlu kunaikki.
Menaikki tangga tersebutpun dengan
berlari bukan berjalan.
Ini adalah perjalanan sepritualku bagian
pertama dari yang kemarin, kemarinnya, dan kemarinnya lagi. Bisa di sebut
perjalanan spritual juga. Di saat orang tersebut tercemplung di air, berlari di
kejar anjing, bernyanyi seperti jebraw yang mengkaitkan berbagai hal dari
tempat wisata jogja, didekati sama orang yang minta-minta, di senyumi seorang
perempuan, digoda banci salon maupun banci dangdutan, mencari dinausaurus di
jogja seperti yang di lakukan oleh jebraw dan nayaanindita, mengisi bensin
hingga mengeluh dengan mahalnya harga, di tempat berbeda ada orang yang
membunuh, melahap dua mangkok nasi, meminta tukang pijit di kereta ekonomi
jogja tujuan Jakarta, dan banyak lain hal yang sepele. Bagiku itu kusebut adalah
perjalanan spritual. Dan bagiku itu belum cukup untuk membentuk manusia dengan
alam hingga bisa bersatu.
Perjalanan spritualitasku yang lain.
adalah tetap masih melawan sebuah kesenangan dan keyakinan. Selamat menjalani
apapun yang di sebut perjalanan spritual bagi kalian. Dan sedangkan aku,
menatap dan memperhatikan bintang. Lalu bertanya “ kalian bersembunyi dimana “